Keracunan Massal MBG: Krisis Kepercayaan dan Pelanggaran Hak Anak

Keracunan Massal MBG Krisis Kepercayaan dan Pelanggaran Hak Anak

Ribuan siswa di Kabupaten Bandung Barat mengalami keracunan massal setelah menyantap Makan Bergizi Gratis (MBG) pada Rabu, 24 September 2025. Menurut Sekda Jawa Barat, Herman Suryatman, sekitar 500 pelajar mendapat perawatan di posko ambulans. Data nasional menunjukkan lebih dari 4.600 kasus keracunan sejak Januari 2025, sementara pemantauan media mencatat sekitar 6.600 kasus, menandakan kemungkinan jumlah korban sebenarnya jauh lebih besar.

Kejadian ini bukan sekadar masalah distribusi makanan, melainkan telah menjadi isu pelanggaran hak asasi manusia, terutama hak anak atas kesehatan, keselamatan, dan kehidupan yang layak sebagaimana dijamin oleh konstitusi dan instrumen HAM internasional.

sm605

Perspektif Hukum dan HAM

Secara konstitusional, Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28H UUD 1945 menegaskan hak anak atas hidup, tumbuh kembang, dan lingkungan sehat. Namun, fakta ribuan anak keracunan menunjukkan jaminan tersebut gagal dijalankan.

Secara hukum nasional:

  • UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM menjamin perlindungan dan kesejahteraan anak.
  • UU No. 23 Tahun 2002 & UU No. 35 Tahun 2014 menekankan tanggung jawab negara atas kesehatan anak.
  • UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan memastikan hak warga untuk memperoleh pangan aman, bergizi, dan bermutu.

Secara internasional, Indonesia terikat:

  • Konvensi Hak Anak (CRC 1989) melalui Keppres No. 36 Tahun 1990, menjamin standar kesehatan tertinggi bagi anak.
  • ICESCR (UU No. 11 Tahun 2005) mewajibkan negara menjamin standar hidup layak dan hak atas kesehatan.

Keracunan massal MBG menandakan kegagalan negara dalam memenuhi kewajiban “to respect, to protect, to fulfill” hak anak.

Krisis Kepercayaan Publik

Program MBG kini dijuluki sinis “Makan Beracun Gratis” oleh masyarakat. Ini bukan sekadar ungkapan emosional, melainkan refleksi hilangnya legitimasi sosial program. Tujuan normatif MBG sebagai instrumen keadilan sosial tidak selaras dengan hasil nyata: keamanan pangan anak-anak gagal terjamin.

Konsep banalitas keburukan ala Hannah Arendt relevan di sini: kelalaian sistemik dianggap normal, sehingga penderitaan anak direduksi menjadi “risiko yang dapat diterima”. Padahal, dalam perspektif HAM, satu nyawa anak yang terabaikan sudah terlalu banyak.

Reformasi dan Evaluasi Total

Krisis berulang ini menegaskan MBG perlu evaluasi total, bukan sekadar pemberhentian sementara atau audit parsial dapur. Prinsip precautionary principle mengharuskan penghentian sementara program hingga terbukti aman.

Beberapa opsi reformasi:

  • Desentralisasi penyediaan makanan, dengan dana dialihkan ke sekolah atau keluarga secara transparan.
  • Penguatan kantin sekolah lokal untuk kontrol kualitas lebih dekat.
  • Akuntabilitas dan transparansi, termasuk kanal pengaduan cepat, pengawasan Komnas HAM, dan Ombudsman.

Tanpa langkah reformasi serius, MBG akan terus menjadi ancaman bagi anak-anak, bukan solusi gizi. Moratorium sementara dan perombakan mekanisme distribusi wajib dilakukan agar tragedi serupa tidak terulang.

TAURUS77

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *